SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Nenek moyangku seorang pelaut”. Apakah Sobat Parekraf membaca kalimat tersebut sambil bernyanyi? Ternyata, penggalan lirik lagu anak-anak, Nenek Moyangku, bukanlah karangan atau imajinasi penulis lagunya saja. Nyatanya, Indonesia memiliki sejarah kemaritiman yang panjang. Bukti nyatanya bisa kita lihat dari keberadaan kapal pinisi.

Kapal pinisi sudah ada sejak 1500-an di Indonesia, dan sering digunakan oleh pelaut Konjo, Bugis, dan Mandar asal Sulawesi Selatan untuk mengangkut barang. Kalau dulunya kapal ini digunakan untuk perdagangan, saat ini banyak kapal pinisi yang digunakan sebagai daya tarik wisata.

Kapal pinisi sangat mudah dikenali di perairan. Ciri khas tersebut bisa dilihat dari penggunaan 7-8 layar, serta 2 tiang utama pada bagian di depan dan belakang kapal. Selain itu, kapal tradisional Indonesia ini juga terbuat dari kayu. Umumnya ada empat jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat kapal pinisi, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole/punaga, dan kayu jati.

Di Indonesia, pembuatan kapal pinisi berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tepatnya berada di tiga desa, yaitu Desa Tana Beru, Bira, dan Batu Licin. Masih dilakukan dengan cara tradisional, pembuatan kapal pinisi tidak bisa dilakukan sembarangan. 

Proses pembuatan kapal pinisi terbagi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dimulai dari penentuan hari baik untuk mencari kayu untuk membuat kapal pinisi. Biasanya, “hari baik” mencari kayu jatuh pada hari ke-5 atau ke-7 pada bulan pembuatan kapal. Pemilihan hari ini melambangkan rezeki yang ada di tangan, dan selalu mendapat rezeki. 

Tahap kedua pembuatan kapal pinisi masuk ke proses menebang, mengeringkan, dan memotong kayu. Kayu-kayu tersebut kemudian dirakit menjadi setiap bagian kapal pinisi. Tahap kedua inilah yang memakan waktu lama, bahkan hingga berbulan-bulan.

Pada tahap ketiga adalah proses peluncuran kapal pinisi ke laut. Namun, sebelum diluncurkan, biasanya diadakan upacara maccera lopi, atau menyucikan kapal pinisi. Upacara ini ditandai dengan kegiatan menyembelih sapi atau kambing. Dengan perhitungan, jika bobot kapal kurang dari 100 ton, maka yang disembelih adalah kambing, sedangkan kalau di atas 100 ton berarti sembelih sapi.

Itu sebabnya, rangkaian pembuatan kapal pinisi melambangkan nilai filosofi tersendiri, yakni nilai untuk bekerja keras, kerja sama, keindahan, hingga menghargai alam. Tak heran kalau kapal pinisi masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO (2017).

Wisata dengan Kapal Pinisi 

Kalau dulunya kapal pinisi kerap digunakan nenek moyang bangsa Indonesia, khususnya suku Bugis, untuk berdagang. Saat ini kapal pinisi menjadi daya tarik wisata di berbagai destinasi wisata Indonesia. Mulai dari Kepulauan Raja Ampat, Labuan Bajo, hingga yang terbaru kapal pinisi sudah ada di Danau Toba, Sumatra Utara.

Menjadi salah satu Destinasi Super Prioritas, danau vulkanik terbesar di dunia ini memiliki keindahan alam yang memesona. Sobat Parekraf dapat menikmati keindahan Danau Toba dengan latar perbukitan hijau dengan naik kapal Pinisi Kenzo.

Menjadi kapal pinisi pertama di Danau Toba, Pinisi Kenzo memiliki berbagai ornamen unik yang menggambarkan identitas Suku Batak. Paling mudah dikenali adalah ukiran gorga, atau seni ukir khas Batak Toba, dengan beberapa ornamen yang menggambarkan 8 kabupaten atau kota di sekitar Danau Toba. Kapal Pinisi Kenzo juga memiliki fasilitas yang komplet. Mampu menampung hingga 11 orang, kapal pinisi ini memiliki empat kamar tidur, toilet dalam dan luar, hingga mini bar

Bagi Sobat Parekraf yang mau merasakan sensasi liburan berbeda di Danau Toba, kapal Pinisi Kenzo mulai berlayar bulan Agustus ini. Dengan paket wisata mengunjungi 11 destinasi di sekitar Danau Toba selama 3 hari 2 malam. Mulai dari Parapat, Pantai Agadon, Pantai Sigapiton, Air Terjun Situmurun, Balige, Pondok Berata Dapdap, Pakkodian, Desa Wisata Meat, Bakara, Bukit Holbung, hingga Sibea-bea. dilansir kemenparekraf.go.id

Tags
SHARE