SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM- Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh (LBBP) RI-Jepang Heri Akhmadi menandatangani jaminan tertulis untuk menjalankan semua prosedur yang diminta Pemerintah Jepang, agar pertemuan antara Menteri Perindustrian RI Agus Gumiwang Kartasasmita dengan sejumlah pengusaha dan pejabat tinggi di negeri sakura dapat terlaksana di tengah keadaan darurat yang diberlakukan akibat pandemi COVID-19.

Pemerintah Jepang mengharuskan Kedutaan Besar RI di Tokyo menjalankan sejumlah Standar Operasional Prosedur (SOP), di mana salah satunya hanya diperkenankan menggunakan satu hotel untuk menginap, sekaligus untuk menggelar pertemuan secara terbatas dengan para pengusaha di negeri sakura.

Di Hotel Imperial, pertemuan digelar di Lantai 4, lantai yang juga telah dinetralisir, di mana tak ada pertemuan lain. Sedangkan delegasi dari Indonesia menginap di lantai 16 di hotel yang sama.

Setelah jaminan tersebut ditandatangani, Dubes Heri kemudian mengeluarkan visa untuk para petinggi Kemenperin agar dapat mengunjungi Jepang dan menggelar pertemuan, dengan misi utama yakni melobi prinsipal industri otomotif Jepang agar memberikan izin kepada industrinya yang ada di Indonesia agar memperluas pasar ekspor. Caranya, dengan menambah investasi untuk memproduksi jenis kendaraan listrik.

Indonesia ingin segera memaksimalkan kerja sama ekonomi komprehensif dengan Austalia dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Agreement (IA-CEPA). IA-CEPA memberikan keistimewaan bagi Indonesia untuk mengekspor mobil listrik dan hybrid ke Australia.

Keistimewaan itu tercermin dari Qualifying Value Content (QVC) produk mobil listrik dan mobil hybrid yang lebih rendah untuk RI ketimbang negara-negara lainnya.

QVC adalah perhitungan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Di dalam IA-CEPA, Australia memperbolehkan Indonesia mengekspor mobil listrik dan hybrid dengan QVC sebesar 35 persen. Padahal, Australia mematok syarat QVC kepada negara lain sebesar 40 persen.

Namun, keistimewaan itu tidak diberlakukan bagi ekspor mobil biasa dari Indonesia. Australia masih membebankan nilai QVC sebesar 40 persen bagi impor mobil konvensional asal Indonesia.

Tetap saja, kekhususan itu menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor otomotifnya. Apalagi, tren pasar otomotif dunia ke depan akan bergerak dari mobil bertenaga bahan bakar fosil menuju bahan bakar ramah lingkungan.

Hal itu yang membawa Menperin dan jajarannya terbang ke Jepang, di tengah pandemi COVID-19 yang masih terjadi, juga 
​​​​​​saat keadaan darurat akibat pandemi di Jepang diberlakukan.

Pada hari pertama kedatangannya di Jepang, yakni Rabu (10/3), Menperin menggelar pertemuan dengan produsen sepatu asal Jepang ASICS, asosiasi

bisnis Jepang Keidanren, Japan External Trade Organization (Jetro), dan perusahaan otomotif Mitsubishi Motor Corporations.

Dari hasil pertemuan dengan Mitsubishi, prinsipal otomotif asal Jepang tersebut berkomitmen menambah investasi sebesar Rp11,2 triliun pada akhir 2025 dengan proyeksi terjadi peningkatan kapasitas produksi, dari 220 ribu menjadi 250 ribu unit.

Mitsubishi disebut akan mengembangkan dua model mobil electric vehicle (EV), yaitu sport utility vehicle (SUV) Xpander jenis hybrid dan plug in hybrid. Khusus untuk electric vehicle (EV), Mitsubishi masih melakukan studi terhadap model-model yang akan dikembangkan, namun mereka berkomitmen untuk melakukan pengembangan jenis kendaraan EV.

Pada hari kedua, pertemuan dengan Suzuki Motor Corp (SMC) menghasilkan komitmen tambahan investasi sebesar Rp1,2 triliun. Suzuki akan mengembangkan kendaraan jenis Ertiga juga XL7 yang basisnya adalah mild hybrid.

Mild Hybrid merupakan teknologi yang dimiliki Suzuki dengan sistem Integrated Starter Generator (ISG). Dengan ISG, Suzuki mampu memproduksi mobil dengan menghemat bahan bakar hingga 15 persen dan mengurangi emisi gas buang hingga 20 persen.

Teknologi tersebut dinilai memadai untuk pasar Suzuki di Indonesia yang menengah ke bawah. Dalam hal tersebut, Kemenperin berkomitmen untuk mendukung rencana Suzuki untuk mengembangkannya di Indonesia.

Perbincangan dengan Honda menghasilkan komitmen tambahan investasi sebesar Rp5,2 triliun hingga 2024 untuk mengembangkan mobil berbasis elektik. Honda bahkan berencana merelokasi pabriknya dari India ke Indonesia.

Pada pertemuan tersebut, Honda juga disebut berkomitmen untuk menambah jumlah negara tujuan ekspor di Asia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, dengan total penambahan menjadi 31 negara.

Model kendaraan baru yang akan diekspor ke 31 negara itu, rencananya akan diproduksi di Indonesia.

Selanjutnya, dalam pertemuan dengan Toyota Motor Corporation (TMC), Menperin mendorong agar TMC mengizinkan pabrik Toyota di Indonesia untuk memproduksi kendaraan yang kemudian akan diekspor ke Australia.

Dari sisi komitmen investasi, Toyota masih berpegang pada rencana sebelumnya, yakni akan menggelontorkan 2 miliar dolar AS atau sekitar Rp28 triliun hingga 2024. Toyota juga berkomitmen akan mengembangkan kendaraan hybrid dan menambah tujuan ekspornya hingga ke 100 negara.

Secara eksplisit, Menperin meminta Toyota memberikan gambaran atas rencananya tersebut secara detail kepada Pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, Toyota menyanggupinya, sehingga pada kedatangan Menperin kembali ke Jepang yakni Mei 2021, hal tersebut diharapkan sudah dapat dipenuhi.

Menperin juga sempat bertemu dengan Mazda Motor Corporation. Mazda merupakan salah satu otomotif Jepang yang belum memiliki pabrik di Indonesia. Namun, produknya cukup dikenal masyarakat Tanah Air.

Menperin bahkan menyampaikan bahwa terdapat Mazda Fans Club di Ibu Kota Jakarta yang anggotanya cukup aktif. Hal itu disampaikan untuk meyakinkan Mazda bahwa pasar di Indonesia sangat potensial. Terlebih, rasio kepemilikan mobil di dalam negeri masih kecil.

Rayuan Menperin tersebut dilancarkan lantaran rencana bisnis Mazda yang hanya akan memproduksi mobil listrik pada 2030. Sebuah peluang potensial yang enggan dilewatkan.

Untuk itu, Indonesia akan melanjutkan pertemuan dengan Mazda dan terus mensosialisasikan insentif yang akan diberikan oleh Indonesia, sehingga Mazda mau mendirikan pabriknya di Tanah Air.

Dari pertemuan 42 jam di Jepang, terlihat bahwa Pemerintah Indonesia mengakomodir setiap rencana investasi pengembangan kendaraan listrik, baik itu hybrid, plug-in hybrid, ataupun EV.

Kriteria ukur dalam pengembangan mobil listrik di Indonesia adalah bukan sekadar persoalan listrik atau bukan listrik. Namun, lebih jauh adalah soal emisi karbon yang dapat dikurangi.

Jika terealisasi, Indonesia bukan hanya mampu meningkatkan ekspor kendaraannya ke Australia, namun juga memiliki industri otomotif yang ramah lingkungan dan berkontribusi dalam mengurangi pemanasan global.

Tags
SHARE