SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM – Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan serangkaian hambatan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia yang tumbuh di bawah 10 persen per tahun.

“Dari hasil kajian kami dalam lima tahun terakhir hanya tumbuh rata-rata 400 megawatt per tahun, bahkan 2020 hanya 187 megawatt lebih rendah daripada rata-rata lima tahun sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan inkonsistensi kebijakan dan regulasi yang selama ini menjadi kendala utama harus segera dibenahi agar prospek energi hijau dapat menarik pelaku dunia usaha.

Mengacu pada target KEN dan RUEN dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014, maka energi hijau seharusnya bisa tumbuh 3-4 GigaWatt (GW) per tahun.

“Regulasi yang tidak terlalu suportif untuk pengembangan EBT membuat minimnya proyek-proyek yang bankable,” kata Fabby Tumiwa.

Lembaga keuangan masih memandang sektor ini punya resiko tinggi akibat hambatan kebijakan dan regulasi, sehingga ketersediaan modal menjadi terbatas yang berakibat rendahnya jumlah proyek energi hijau.

Fabby melanjutkan bahwa peta potensi energi hijau harus dievaluasi ulang dengan melihat potensi sumber daya lokal yang ada di masyarakat.

Kajian IESR menyebutkan potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) apabila mempertimbangkan ketersediaan lahan dan intensitas radiasi matahari di Indonesia, maka total potensi energi surya dapat mencapai 9.000 GW.

Selanjutnya, teknologi PLTS atap di bangunan rumah di seluruh Indonesia dengan mempertimbangkan luas atap, intensitas matahari, dan shading dapat menghasilkan energi sebesar 655 GW. Kemudian, potensi biomassa dari limbah agrikultur mampu menghasilkan sekitar 45 GW.  Sementara menurut data Kementerian ESDM, potensi energi hijau di Indonesia tidak lebih dari 500 GW.

“Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar hanya saja itu belum dipetakan secara optimal berdasarkan data-data sumber daya yang ada, terkhusus versi pemerintah,” kata Fabby Tumiwa.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020 bauran energi hijau di Indonesia masih berada di angka 11,5 persen dari target sebesar 23 persen pada 2025. Indonesia membutuhkan investasi sekitar 167 miliar dolar AS untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2030 dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit energi hijau.

Pemerintah bersama Komisi VII DPR saat ini sedang mematangkan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (UU EBT) serta kebijakan Feed in Tariff melalui Peraturan Presiden.

Kehadiran regulasi dan kebijakan itu diharapkan akan meningkatkan investasi pada sektor energi hijau di Indonesia dan menambah kapasitas pembangkit.

“Kita harus mengakui dalam lima tahun ke belakang (pertumbuhan EBT) memang agak lambat, karena menghadapi banyak tantangan. Pemerintah tengah menggodok kebijakan dan regulasi agar ekosistem energi hijau bisa berjalan,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Medrilzam.