SHARE

carapandang.com

CARAPANDANG.COM - Duka mendalam menyelimuti warga Papua. Korban meninggal akibat kerusuhan di Wamena terus bertambah mencapai 33 orang hingga Selasa (1/10). Ditambah dengan dibakarnya 465 ruko, 165 rumah warga dan 224 mobil. Berbagai fasilitas umum dan gedung pemerintahan dirusak oleh pendemo.

Aparat kepolisian menjelaskan, demonstrasi yang berujung anarki di Wamena, Papua pada Senin (23/9) dipicu oleh beredarnya berita sampah (hoax) yang memuat persoalan rasial. Sementara pihak pendemo mengonfirmasi bahwa aksi anarki bergejolak setelah massa aksi mendengar suara tembakan yang bertubi-tubi sehingga membuyarkan konsentrasi mereka.

Walhasil, pendemo berlarian diiringi emosi berlebih dan merusak setiap fasilitas pemerintah yang mereka jumpai, seperti kantor pemerintahan, gedung PLN, serta rumah dan kios warga pendatang. Saat ini, dikabarkan ada sebanyak 8 ribu warga yang berasal dari suku Jawa, Bugis, Sunda, Minahasa, Madura, Toraja, Minangkabau, Makassar, Nusa Tenggara dan Maluku telah mengungsi di 33 titik pengungsian menunggu giliran untuk diterbangkan ke daerah asal masing-masing.

Isu rasial yang melibatkan masyarakat Papua bukan yang pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, bentrokan terjadi antara sekelompok mahasiswa asal Papua dengan warga Kota Malang seiring dengan aksi demonstrasi memperingati perjanjian Amerika dan Indonesia dalam hal pemerdekaan Papua (15/8).

Kekerasan komunal berlanjut di Surabaya (16/8), persekusi dilakukan sekelompok ormas, polisi dan aparat keamanan lainnya terhadap mahasiswa Papua yang dianggap tidak mau mengibarkan bendera merah putih di asrama mereka. Tindak kekerasan di Jawa Timur tersebut direspons dengan berbagai aksi anarkis di Papua dan Papua Barat. Gedung DPRD Papua Barat dibakar, toko dijarah, dan sejumlah fasilitas umum dirusak warga. Hingga, bandar udara di Sorong pun sempat ditutup.

Secara umum meski kekerasan komunal di Papua ini sedikit reda, namun tidak ada yang bisa menjamin bila konflik berbasiskan ras ini bisa benar-benar berhenti. Persoalan ini juga berlaku bagi anarkisme berbau agama, suku, dan kelompok di tempat lain. Menurut hemat penulis, pluralitas ini akan selalu menjadi ancaman bila tidak dirajut secara baik. Ia akan terus menjadi momok yang menakutkan bagi tata kehidupan masyarakat yang damai dan tentram.

Mempertemukan Keberagaman

Pluralitas harus diubah perannya dengan menjadi modal sosial bagi terciptanya kerukunan di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu upaya mewujudkan kerukunan tersebut adalah dengan memperbanyak perjumpaan dari beragam perbedaan tersebut. Dengan begitu, dialog akan terjadi, saling kesepahaman bisa tercipta, dan tidak ada prasangka antara satu pihak dengan pihak yang lainnya.

Berbagai perjumpaan yang melibatkan pemimpin muda dari beragam latarbelakang keberagaman mulai sering diadakan di Indonesia, seperti halnya keberadaan Youth Leaders Peace Camp (YLPC) dan berbagai komunitas PeaceGeneration (PeaceGen) Indonesia. Perjumpaan seperti ini bertujuan sebagai salah satu upaya mendialogkan kemajemukan. Hal ini ditengarai bahwa akar terjadinya kekerasan komunal tidak lain karena minimnya intensitas pertemuan dari pihak-pihak yang memiliki latarbelakang yang mejemuk.

Aktivitas perjumpaan ini akan mendorong kaum muda untuk saling bertukar pikiran, menemukan jalan dialog, dan saling memahami tentang pesan perdamaian, doktrin keselamatan, dan nilai kearifan lokal yang dimiliki masing-masing. Dengan begitu, berbagai aktifitas perjumpaan yang seperti demikian dapat meminimalisir prasangka di antara satu pihak yang berbeda pandangan dengan yang lainnya.

Seperti halnya pada kasus Papua, seorang guru yang menegur siswa dengan memuat isu rasial, menjadi contoh buruk bagi harmoni keberagaman. Pola pemikiran guru yang membawa-bawa isu rasial ke dalam proses belajar-mengajar di kelas adalah gambaran nyata di mana stakeholder pendidikan yang tidak memiliki perspektif penghargaan terhadap perbedaan.

Sebab itu, melalui pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial, hendaknya terus memperbanyak aktivitas perjumpaan dengan mempertemukan berbagai individu dari beragam kelompok berbeda (bisa guru, pemimpin muda, siswa, pendakwah dan beragam komunitas lainnya) supaya pemahaman moderasi terhadap kemajemukan bisa senantiasa tersemai dalam cara berpikir dan cara berlaku bangsa Indonesia. 

Nafik Muthohirin - Dosen FAI-UMM, Inisiator Youth Leaders Peace Camp

Tags
SHARE