SHARE

Ilustrasi | Istimewa

CARAPANDANG - Saat ini, Amerika Serikat tengah dilanda berbagai krisis ekonomi. Mulai dari isudebt ceiling, ancaman resesi, dan krisis perbankan yang sudah berlangsung sejak bulan Maret lalu. Terbaru,First Republic Bank menandai kegagalan bank terbesar kedua dalam sejarah AS, setelah Washington Mutual Inc yang gagal pada tahun 2008.

Senin dini hari, krisis perbankan resmi memakan korban baru dengan regulator AS menyita First Republic Bank dan mencapai kesepakatan untuk menjual sebagian besar operasinya kepada JPMorgan Chase, bank terbesar di AS. First Republic menjadi bank keempat AS yang kolaps setelah Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank.

Pemerintah AS, investor, dan institusi keuangan lainnya telah turun tangan untuk menyelamatkan bank-bank yang berjatuhan itu. Tetapi, situasi ini dikhawatirkan akan berlanjut dan akan merembet ke sektor keuangan secara global.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa Indonesia perlu hati-hati dalam menyikapi masalah ini. Karena efek dari krisis perbankan ini bisa merembet kepada stabilitas sektor keuangan. Terutama, yang berkaitan dengan penanaman modal asing, kata dia.

"Jadi perbankan di dalam negeri yang memiliki kaitan dengan yang di AS ya perlu diawasi ketat oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," ujar Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (2/5/2023).

Kemudian, ia menyebut krisis perbankan di AS ini jadi pelajaran agar negara siap menyediakan danabailoutyang jumlahnya tidak kecil jika terjadi kegagalan di sektor perbankan.

"Ini artinya juga harus ada penyempurnaan terus dari regulasi pengawasan dan juga antisipasi krisis keuangan," ujarnya.

Selain itu, ada dampak teknis yang ditimbulkan yang berkaitan dengan suku bunga.

"Karena investor panik kemudian membuat imbal hasil atau yield surat utangnya naik, otomatis dampaknya ke Indonesia yang juga harus berkejaran dengan kenaikan suku bunga," jelas Bhima.

Maka, suku bunga akan terus meningkat ke depannya.

"Dan itu akhirnya membuat tekanan kepada sektor riil. Terutama pelaku industri yang membutuhkan modal untuk pembelian bahan baku, mesin, kemudian belanja untuk operasional. Ini juga akan berkaitan dengan kenaikan beban biaya bunga," tambahnya.

Oleh karena itu, tidak seperti yang diekspektasi sebelumnya, masih banyak tantangan dalam pemulihan ekonomi global.

"Jadi, Indonesia harus melihat ke dalam, dan juga memitigasi risiko dari transmisi di AS," pungkas Bhima.




Tags
SHARE