SHARE

Ilustrasi

Para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadits terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu, masa Khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad 1 H), masa pembukuan hadits (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadits (awal-akhir abad III), sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’al-Shahih (w.256 H) disusul Imam Muslim (w. 261 H).

Jika  para ulama mutaqaddimin menghimpun hadits dengan menemui sendiri para pengahafalnya maka ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin. Masa inilah para ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj. Sehingga bermunculan kitab-kitab mustadrak dan mustakhraj. Sampai pada abad kelima dan abad ketujuh para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadits Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah jalan pengambilannya.

Dalam abad ini pula timbul istilah al-jami’ al-Jawami dan al-Takhrij. Ilmu hadits baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-Qadhi Ibnu Muhammad al-Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Abu Bakr al-Baghdadi (463 H). Para ulama mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadits dan ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu musthalahul hadits. Jadi, kalau menganalisa kedua uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadits sebagai bagian dari ilmu hadits.

Takhrij al-Hadits sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai banyak sekali manfaat Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, yang penulis kutip dari buku terjemahan kitab tersebut, “Metode Takhrij Hadits”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadits diantaranya:

Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada, beserta ulama yang meriwayatkannya. Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki. Dapat memperjelas keadaan sanad, dengan membandingkan riwayat-riwayat hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat-riwayat hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dal dan lain-lain.

Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.  Takhrij dapat memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadits yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Takhrij hadits merupakan salah satu seperangkat ilmu hadits yang berfungsi sebagai jembatan antara peneliti hadits dan sumber asli suatu hadits, sehingga dapat menemukan hadits dalam berbagai redaksi dan sanad-sanadnya. Hanya dengan redaksi (matan) hadits yang lengkap dan sanad dari berbagai jalur seorang peneliti hadits dapat menyeleksi kualitas suatu hadits. Takhrij hadits adalah kajian yang patut dipelajari. Dengan mempelajari takhrij hadits kita mengetahui kualitas hadits yang kita teliti, bisa shahih, hasan atau dha’if.

Halaman :
Tags
SHARE